Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan kepada rakyatnya untuk memboikot produk produk Prancis terkait dengan apa yang disebutnya sikap bermusuhan terhadap Muslim yang ditunjukkan oleh pemimpin Prancis. "Sekarang saya menyerukan kepada bangsa kita, sebagaimana yang telah terjadi di Prancis untuk tidak membeli merek merek Turki, maka saya menyerukan kepada bangsa saya di sini dan mulai sekarang: jangan perhatikan barang barang berlabel Prancis, jangan beli barang barang itu," tegas Erdogan dalam pidato di televisi pada Senin (26/10). Presiden Erdogan juga menyerukan kepada Uni Eropa untuk membatasi hal yang disebut sebagai agenda anti Islam yang diusung Macron.
Boikot produk Prancis sudah terjadi di beberapa negara Timur Tengah sebagai bentuk protes terhadap pembelaan Presiden Emmanuel Macron atas hak untuk menunjukkan kartun Nabi Muhammad. Pemerintah Prancis pun telah meminta aksi pemboikotan diakhiri. Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan seruan "tak berdasar" untuk boikot itu "didorong oleh kelompok minoritas radikal".
Sementara itu, aksi protes terjadi di Libia, Suriah, dan Jalur Gaza. Reaksi negatif tersebut berasal dari komentar Macron setelah pembunuhan seorang guru Prancis yang mempertunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelas. Sang presiden berkata guru itu, Samuel Paty, "dibunuh karena para Islamis menginginkan masa depan kami", tetapi Prancis "tidak akan menyerahkan kartun kami".
Penggambaran Nabi Muhammad dapat sangat menyinggung bagi umat Islam karena tradisi Islam secara eksplisit melarang gambar Muhammad dan Allah. Namun sekularisme negara atau laïcité adalah pusat identitas nasional Prancis. Membatasi kebebasan berekspresi untuk melindungi perasaan satu komunitas tertentu, menurut negara, merusak persatuan. Pada hari Minggu, Macron menegaskan kembali pembelaannya terhadap nilai nilai Prancis dalam sebuah twit yang berbunyi: "Kami tidak akan menyerah, selamanya."
Para pemimpin politik di Turki dan Pakistan telah marah kepada Macron, menuduhnya tidak menghormati "kebebasan berkeyakinan" dan memarjinalkan jutaan Muslim di Prancis. Pada hari Minggu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, untuk kedua kalinya, bahwa Macron harus melakukan "pemeriksaan mental" terkait pandangannya tentang Islam. Komentar serupa mendorong Prancis memanggil duta besarnya untuk Turki untuk konsultasi pada hari Sabtu.
Seberapa luas boikot terhadap produk Prancis? Produk produk Prancis diturunkan dari beberapa rak supermarket di Yordania, Qatar, dan Kuwait pada hari Minggu. Produk kecantikan dan perawatan rambut buatan Prancis, misalnya, tidak lagi dipajang. Di Kuwait, serikat pengecer besar telah memerintahkan pemboikotan barang barang Prancis.
Serikat Masyarakat Koperasi Konsumen, yang merupakan serikat non pemerintah, mengatakan telah mengeluarkan arahan sebagai tanggapan atas "penghinaan berulang" terhadap Nabi Muhammad. Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Prancis mengakui langkah tersebut. Ia menulis: "Seruan untuk boikot ini tidak berdasar dan harus segera dihentikan, beserta semua serangan terhadap negara kami, yang didorong oleh kelompok minoritas radikal."
Seruan boikot terhadap produk Prancis telah tersebar lewat dunia maya di negara negara Arab. Di dunia maya, seruan untuk boikot serupa di negara negara Arab lainnya, seperti Arab Saudi, telah beredar. Tagar yang menyerukan boikot jaringan supermarket Prancis, Carrefour, adalah topik paling tren kedua di Arab Saudi, ekonomi terbesar di dunia Arab.
Sementara itu, unjuk rasa anti Prancis berskala kecil digelar di Libia, Gaza, dan Suriah utara, tempat yang dikuasai milisi yang didukung Turki. Mengapa Prancis terlibat dalam perselisihan ini? Pembelaan keras Macron terhadap sekularisme Prancis dan kritik terhadap Islam radikal menyusul pembunuhan Paty telah membuat marah beberapa sosok di dunia Muslim.
Presiden Erdogan bertanya dalam pidatonya: "Apa masalah individu bernama Macron dengan Islam dan Muslim?" Sementara pemimpin Pakistan, Imran Khan menuduh sang pemimpin Prancis "menyerang Islam, jelas tanpa memahami apapun tentangnya". "Presiden Macron telah menyerang dan melukai sentimen jutaan Muslim di Eropa dan di seluruh dunia," katanya dalam sebuah twit.
Awal bulan ini, sebelum pembunuhan sang guru, Macron mengumumkan rencana undang undang yang lebih ketat untuk mengatasi hal yang ia sebut "separatisme Islam" di Prancis. Ia mengatakan, kelompok minoritas Muslim di Prancis terdiri dari kira kira enam juta orang berpotensi membentuk "masyarakat tandingan". Ia menggambarkan Islam sebagai agama "dalam krisis". Di tengah serangan dari sejumlah negara, Prancis mendapat dukungan dari Jerman.
"Serangan pribadi Presiden Erdogan kepada Presiden Macron menurut saya adalah momen buruk dan tidak dapat diterima. Yang penting kami menunjukkan solidaritas kepada Prancis dalam memerangi ekstremis Islam, khususnya sesudah aksi terorisme mengerikan yang terjadi minggu lalu," kata Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas pada Senin (26/10/2020). Kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad memiliki warisan politik yang gelap dan intens di Prancis. Pada 2015, 12 orang tewas dalam serangan di kantor majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, yang menerbitkan kartun tersebut.
Beberapa komunitas Muslim terbesar di Eropa Barat menuduh Macron berusaha menekan agama mereka dan mengatakan kampanyenya berisiko melegitimasi Islamofobia.