Pakar Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebut pemberlakukan keadaan darurat Thailand sebagai "tindakan kejam", Kamis (22/10/2020). Melalui laman resmi , pakar PBB tersebut mendesakPemerintah Thailand untuk menjamin hak hak dasar berkumpul secara damai dan kebebasan berbicara. "Penerapan keadaan darurat merupakan serangkaian tindakan kejam yang ditujukan untuk membungkam demonstrasi damai dan mengkriminalisasi suara suara yang tidak setuju”, kata mereka.
PBB juga mendesak berwenang untuk mengizinkan pelajar, pembela hak asasi manusia, dan lainnya untuk memprotes dengan cara damai. Para ahli PBB menyerukan kepada para demonstran untuk "diizinkan untuk secara bebas mengutarakan pikiran mereka dan berbagi pandangan politik mereka, baik online maupun offline, tanpa penuntutan." Lebih jauh, pada 15 Oktober 2020, tindakan darurat diberlakukan di sekitar Ibu Kota Bangkok.
Pemerintah melarang pertemuan lebih dari empat orang atau lebih Sejak itu, polisi menerapakan kekerasan pada para demonstran, termasuk penggunaan water cannon (meriam air) untuk membubarkan pengunjuk rasa yang berdemonstrasi secara damai. Menurut laporan berita, pada Kamis (22/10/2020), kekerasan di jalanan telah berkurang dan pihak berwenang mencabut putusan keadaan darurat.
Diketahui, protes yang dipimpin mahasiwa itu menuntut Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan ocha untuk mundur dari kursi jabatannya. "Otoritas keamanan menggunakan kekuatan yagn tidak perlu terhadap para pengunjuk rasa damai," lanjut para ahli. "Kekerasan seperti itu justru beresiko memperburuk situasi," tegasnya.
"Alih alih mencoba membungkam demonstran yang damai, kami mendesak pemerintah Thailand segera mengupayakan dialog terbuka dan tulus dengan mereka," imbau para ahli. Seperti diketahui, ribuan orang bergabung dalma protes pro demokrasi di Bangkok. Mereka bersatu menyerukan reformasi pemerintahan dan monarki Thailand.
Sejak 13 Oktober 2020, sekira 80 orang telah ditangkap aparat berwenang. Beberapa tahanan telah didakwa dengan KUHP Thailand atas tuduhan penghasutan dan mengadakan perkumpulan ilegal. Lainnya didakwa berdasarkan Undang Undang Kejahatan Komputer karena menggunakan akun media sosial untuk meminta publik berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa.
Dua dari mereka yang didakwa menghadapi hukuman seumur hidup karena diduga menggunakan kekerasan terhadap monarki Thailand. Dakwaan tersebut jelas menimbulkan keprihatinan yang serius, para ahli Special Rapporteurs (Pelapor Khusus) meminta pihak berwenang Thailand untuk "segera dan tanpa syarat membebaskan siapa pun yang ditahan hanya untuk menjalankan kebebasan dasarnya". Untuk diketahui, Special Rapporteurs merupakan bagian dari apa yang dikenal sebagai
Clément Nyaletsossi Voule, Irene Khan dan Mary Lawlor bekerja secara sukarela dan mereka bukan staf PBB dan tidak menerima gaji untuk pekerjaan mereka.